Sharing is Caring | Simple Share™ Berbagi Informasi yang Positif | SEO, Tips, Tutorial, Resensi, Review, Cerita Kehidupan Simple Share™

Selasa, 25 Oktober 2011

Seberkas Cahaya di Palestina (1/14)

Namaku Mada. Sebenarnya wajahku biasa-biasa saja. Namun orang bilang aku memiliki kepribadian menarik hingga banyak orang senang berteman denganku. Aku dilahirkan 18 tahun yang lalu di sebuah kota kecil di pulau Dewata sebagai anak tunggal. Ibuku adalah seorang putri asli Bali. Sedangkan ayahku seorang warga Indonesia keturunan Cina.

Waktu aku kecil ayahku sering bercerita dengan penuh kebanggaan tentang kakek moyangnya. Kakek moyangnya tersebut adalah seorang pelaut andal. Lebih dari seratus tahun yang lalu dengan hanya mengandalkan perahu tongkang sederhana ia bersama kawan-kawannya mengarungi samudra Cina Selatan nan luas menuju ke kepulauan Indonesia selama berbulan-bulan lamanya.

Setelah mengalami beberapa kali badai dan topan akhirnya mereka terdampar di salah satu kepulauan kecil di Filipina. Dari pulau tersebut mereka kemudian berpencar. Kakek memilih melanjutkan petualangan berbahayanya hingga akhirnya dengan selamat tiba di pesisir Bali. Ia adalah hanya 3 diantara 8 kawannya yang selamat dari perjalanan maut tersebut. Di pulau inilah kakek kemudian memulai kehidupan barunya. Di tanah ini pula kakek  kemudian  menikahi seorang gadis Bali sebagaimana juga ayah yang menikah dengan ibu 18 tahun yang lalu.

Kakeklah yang mengajari ayah bagaimana caranya berbisnis.hingga akhirnya ayah seperti sekarang ini. Ayahku saat ini adalah seorang bos  perusahaan penghasil  makanan laut yang sukses. Aku sangat mengaguminya. Namun bersamaan dengan kesuksesannya  itu sesungguhnya aku justru mulai kehilangan dirinya. Dulu, ketika masih di Bali ayah sering mengajakku bermain-main air, pasir dan mencari kerang-kerangan di pantai. Bahkan pada hari-hari pertama kepindahan kami ke Jakartapun ayah masih sering mengajakku  jalan-jalan ke pasar ikan di Kamal. Kadang kami memancing kemudian  berdua kami membakar ikan-ikan hasil tangkapan kami tersebut sebelum akhirnya menyantapnya dengan lahap. Namun makin hari ayah makin sibuk sehingga akhirnya yang tertinggal hanyalah kenangan manisnya saja.

Sementara ibu, ia adalah seorang penasehat ekonomi di sebuah perusahaan swasta Perancis. Ia seorang pekerja yang tekun dan rajin. Seingatku sejak aku kecil bahkan hingga saat inipun hampir sepanjang waktu ibu dihabiskan di tempatnya bekerja. Itu sebabnya aku tidak begitu akrab dengannya. Kadang aku berpikir apakah ibu tidak menyayangiku? Beruntung  aku masih mempunyai  tante  yang amat memperhatikanku.

Tante Rani adalah adik ayah. Ia adalah tipe perempuan setia yang menjunjung tinggi arti sebuah cinta sejati. Sayang suaminya meninggal hanya beberapa bulan setelah pernikahan mereka. Ia meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat terbang. Sejak itu tante Rani tidak pernah lagi mau menikah. Waktunya hanya dihabiskannya dengan membaca dan bermain piano kesayangannya. Ia tinggal bersama kami sejak orangtuaku pindah ke Jakarta. Ketika itu aku berumur 4 tahun. Ialah yang  menemaniku melalui hari-hari pertamaku di TK. Ia pulalah yang mengajariku pentingnya arti sebuah kejujuran dan kebersihan hati. Seperti halnya kebanyakan keturunan Cina yang masih memegang teguh ajaran leluhur, tante Rani adalah seorang pemeluk agama Kong Hu Chu yang taat. Hampir setiap hari Senin dan Kamis  ia berpuasa. Itu sebabnya orangtuaku  mempercayakan pendidikan spiritualku padanya.

Darinya pula, ketika aku sudah agak besar, aku tahu bahwa ayah adalah seorang pecandu minuman keras dan doyan mabuk-mabukan. Kebiasaan buruk ini mulai  merasuki dirinya setahun sebelum ibu melahiranku. Inilah yang menyebabkan ibu lebih betah di tempatnya bekerja daripada di rumah. Aku memang sering memergoki ayah dan  ibu bertengkar, ntah apa yang diributkan. Namun dihadapanku mereka selalu berusaha menutupinya.


***

Pada suatu hari di awal tahun 2000, ibu mendapat tawaran untuk melanjutkan program pendidikan S2 di universitas Sorbonne, Paris, Perancis. Tentu saja ibu tidak menyiakan-nyiakan kesempatan emas tersebut. Ibu mengajakku untuk menemaninya selama ia menuntut ilmu di kota pusat mode dunia tersebut. Sementara ayah tetap di Jakarta.  Namun ia janji  akan sering-sering menengok kami berdua. Maka dengan penuh semangat berangkatlah kami menuju kota yang terkenal dengan menara Eiffelnya itu. Sedih juga aku terpaksa berpisah dengan ayah  terutama dengan tante Rani. Tapi itulah hidup. Dengan mata berkaca-kaca tante Rani menasehatiku banyak-banyak agar selalu berhati-hati di negri orang terutama dalam menghadapi pergaulan bebas anak-anak muda di negri yang begitu mendewakan azas demokrasi ini.

“ Ingatlah selalu Mada…kita ini masyarakat Timur yang masih dan senantiasa menjunjung tinggi agama, budaya dan sopan santun. Hormatilah aturan dan orang yang lebih tua”, begitu ia mewanti-wantiku.

Pesawat yang kami tumpangi menjejakkan rodanya di  Charles de Gaulle Airport Paris pada pagi hari bulan Agustus  yang cerah. Temperatur sekitar 34 derajat Celcius di siang hari. Jadi kurang lebih sama dengan  Jakarta. Di airport kami dijemput oleh sebuah kendaraan milik perusahaan dimana ibu bekerja. Kami langsung menuju apartemen dimana kami akan tinggal selama di Paris. Dengan suka cita melalui jendela mobil kami menikmati pemandangan kota yang begitu mempesona ini.

Bangunan-bangunan kuno dengan arsitektur cantik  khas Eropa berjajar dalam blok-blok yang teratur rapi. Restoran dengan meja dan kursinya yang ditata dibawah payung-payung lebar di pedestrian, jalan bagi pejalan kaki yang lebar terlihat dimana-mana. Yang juga tak kalah menarik dalam pandanganku sebagai seorang anak laki adalah mobil-mobil yang berseliweran di sepanjang jalan. Aku perhatikan rupanya sedan-sedan  mewah berbagai merk yang di Jakarta   hanya dipakai orang-orang kaya saja di kota ini dijadikan taxi!  Berbagai merek mobil mewah seperti Mercedes, Peugeout, BMW, Honda keluaran baru memenuhi jalanan, woow…

Di kota ini  aku sekolah di sebuah sekolah swasta dengan 2 bahasa pengantar yaitu Inggris dan Perancis. Ketika itu usiaku 15 tahun. Jadi aku dimasukkan ke kelas troisieme atau setingkat kelas 3 SMP di Indonesia. Di Perancis, menuntut ilmu di sekolah adalah wajib bagi seluruh warga dan gratis pula kecuali tentu saja sekolah swasta. Jadi tidak ada alasan seorang anak tidak sekolah karena alasan tidak mampu atau tidak lulus tes. Umurlah yang menentukan kelas setiap anak yang baru pindah sekolah.

Agak berbeda dengan sekolah di Indonesia, tingkat pendidikan SD atau disebut Ecole Primer lamanya hanya 5 tahun. SMP yang mereka namakan College diselesaikan dalam waktu 4 tahun dan SMA atau Lycee 3 tahun. Jadi totalnya tetap 12 tahun sama dengan di Indonesia. Namun penyebutan kelasnya sendiri tidak dibedakan antara SD, SMP atau SMA. Klas 1 SD disebut onzieme yang berarti ke 11 , klas 2 SD disebut dixieme yang berarti ke 10. Demikian seterusnya  hingga klas 2 SMA yang disebut premiere yang berarti ke 1 dan yang terakhir adalah klas terminal atau klas 3 SMA.

Sebagian besar murid sekolah yang dikenal dengan nama Ecole Active Bilingue ini adalah warga non Perancis. Bahkan di kelasku hampir setengahnya  adalah dari Asia namun sayang tak satupun yang berasal dari Indonesia. Hari-hari pertama sekolahku tak terlalu istimewa. Aku diminta memperkenalkan diri dalam bahasa Perancis namun setelah aku katakan bahwa aku tidak bisa berbahasa tersebut maka akupun memperkenalkan diriku dalam bahasa Inggris yang agak kacau. Mulanya aku agak tak percaya diri dengan kekuranganku itu. Namun setelah kusadari bahwa sebagian teman-temankupun tidak  berbahasa Inggris dengan sempurna akupun menjadi lebih tenang dan santai.

“ Aku selalu merasa penasaran menebak identitas diri orang asing yang baru aku temui atau aku kenal “, begitu kata wali kelasku yang asli Perancis. “ Untuk sekedar berkomunikasi dengan orang lain seseorang  tidak  harus berbicara dengan logat sesempurna orang yang menggunakan bahasa asing  tersebut sebagai bahasa ibunya. Justru disitu letak daya tariknya”, lanjut guru tersebut dengan logat bahasa Inggris yang agak aneh. Belakangan aku baru tahu bahwa logat seperti itu sangat khas logat orang Perancis berbahasa Inggris.  Maka sejak saat itu aku jadi tertarik untuk  memperhatikan logat bicara orang-orang di sekitarku terutama ketika aku harus berdesak-desakan di dalam Metro, angkutan umum masal bawah tanah Perancis.

Di  kota Paris ini kesempatan bertemu dengan orang asing sangatlah  besar. Hampir semua lapisan masyarakat kota ini baik penduduk asli maupun wisatawan asing dan lokal, pejabat maupun rakyat biasa memilih Metro sebagai alat transportasi. Karena selain lebih cepat dan tepat waktu juga lebih murah. Jadi lebih effisien dari pada menggunakan kendaraan pribadi. Di dalam metro inilah aku paling sering berjumpa wisatawan mancanegara. Mereka berbicara dalam berbagai bahasa dan logat. Dalam waktu beberapa bulan saja aku sudah dapat mengenali asal negara seseorang berdasarkan logat bahasa Inggris ataupun  Perancis yang diucapkannya.

Aku sendiri di sekolah lebih sering menggunakan bahasa Inggris. Namun untuk mempercepat kelancaran bahasa Perancisku aku memilih lebih sering berpergian ke berbagai tempat dan  bertemu dengan orang banyak daripada harus khusus mengambil kursus bahasa yang menurut banyak orang terdengar manja di telinga ini. Disamping itu dengan  banyak berkunjung ke berbagai tempat umum banyak pengalaman yang kudapat.

Museum adalah tempat yang paling menarik perhatianku. Sekolahlah yang pertama kali memperkenalkan tempat yang menyimpan bergudang-gudang  cerita dan sejarah ini. Aku mengunjungi museum untuk pertama kalinya bersama rombongan sekolah. Dengan didampingi seorang guru sejarah kami melakukan kunjungan ke museum terbesar dan  terlengkap di Paris, yaitu Musee’ Du Louvre. Sejak itu hampir sebulan sekali aku selalu pergi mengunjungi museum yang jumlahnya banyak sekali  di kota ini. Beruntung aku mempunyai  2 teman baru yang punya minat yang sama denganku.  Yaitu Kaori, seorang  gadis  Jepang  dan satu lagi  Hans, seorang pemuda Yahudi asal Jerman- Austria. Bertiga kami pergi menjelajahi museum satu ke museum yang lain. Namun tetap museum Du Louvre adalah pilihan terbaik.

Mueum ini terletak di jantung kota Paris, di sisi utara sungai Seine yang membelah kota, dengan akses yang sangat mudah. Bangunan ini  pada tahun 1190 aslinya adalah sebuah benteng kota. Beberapa ratus tahun kemudian bangunan ini kemudian berubah fungsi menjadi galeri pribadi kerajaan. Baru pada tahun 1855 museum ini akhirnya resmi dijadikan  museum Negara. Itupun pada awalnya hanya dibuka untuk umum seminggu sekali yaitu pada hari Minggu. Bangunan bergaya arsitektur Renaissance yang menempati areal seluas 210 ribu meter persegi ini belakangan diperkaya dengan sentuhan arsitektur modern di tengah arealnya. Sebuah bangunan kaca raksasa dengan bentuk piramida, karya seorang arsitek Cina-Amerika,   sejak tahun 1988   menjadi pintu masuk utama menuju museum.

Banyak koleksi terkenal yang dipajang di museum ini. Salah satunya adalah lukisan Monalisa dengan senyumnya yang misterius itu. Di museum ini pula film Da Vinci Code yang diambil dari buku karangan Dan Brown yang kontroversial itu mengambil lokasi shooting. Beberapa tema menarik yang digelar museum ini menarik perhatianku. Diantaranya adalah pameran  kapal pesiar super mewah Titanic dan pameran tentang Yerusalem yang diberi judul “ Yerusalem dan  Sultan Salahuddin Al-Ayubi, Sang Penakluk “.

Awalnya adalah Hans yang sering menceritakan kekagumannya pada kakeknya yang lama menetap di kota Yerusalem yang merupakan kota suci bagi umat Islam, Nasrani dan Yahudi tersebut. Ketika itu kami bertiga sedang bingung menentukan museum mana yang akan kami kunjungi pada hari Minggu itu. Ketika itulah Hans menemukan brosur tentang pameran Yerusalem. Maka dengan penuh antusias ia membujuk kami agar mau mengunjungi pameran tersebut.

Pameran ini diselenggarakan di ruang utama museum Du Louvre dan akan berlangsung selama 1 bulan. lamanya. Museum ini memang dikenal terbiasa menyelenggarakan pameran dengan tema-tema tertentu yang banyak menarik perhatian umum. Tokoh-tokoh terkenal manca Negara mulai pelukis kenamaan Pablo Picasso,  Salvador Dali,  janda mantan presiden AS Kennedy, Jacquelin Kenneddy Onasis dengan koleksi ribuan pakaiannya hingga tokoh-tokoh besar peradaban sejarah masa lalu seperti Ramses Sang Fir’aun dari Mesir, Harun Ar-Rasyid dengan kisah 1001 malamnya hingga  Hittler dengan nazinya pernah dijadikan  tema pameran di museum yang setiap hari dikunjungi ribuan wisatawan mancanegara ini.  Sejak pulang dari pameran tentang Yerusalem inilah aku mulai tertarik pada masalah keagamaan dan perbedaannya.
***

Sumber Referensi : http://vienmuhadisbooks.com/
Sebetulnya ini bukanlah sebuah cerpen yang islami, akan tetapi ini sejatinya merupakan sebuah novel palestina yang Insya Allah berdaya manfaat lebih.. Hamasah!!! Dimanapun engkau berada wahai jundullah!!! ^_^

Seberkas Cahaya di Palestina (1/14) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Pengagum Wanita

2 komentar: