Sharing is Caring | Simple Share™ Berbagi Informasi yang Positif | SEO, Tips, Tutorial, Resensi, Review, Cerita Kehidupan Simple Share™

Sabtu, 29 Oktober 2011

Seberkas Cahaya di Palestina (5/14)

Esoknya bersama Benyamin aku pergi ke kampus dimana ia menuntut ilmu. Sekarang aku baru tahu rupanya salah satu alasan mengapa aku tinggal di keluarga ini adalah karena aku akan mempelajari ilmu di tempat Benyamin belajar. Sama seperti rumah tinggal mewah keluarga Benyamin, Hebrew University juga terletak di Yerusalem Barat sebuah wilayah di sebelah barat  Yerusalem  yang diduduki Israel. Keadaan kota di bagian ini jauh berbeda dengan keadaan di YerusalemTimur. Gedung-gedung tinggi dan rumah mewah bertebaran disini. Rumah-rumah tersebut rata-rata terbuat dari batu putih. Hal ini mengingatkanku akan kota Amman di Yordania yang menamakan dirinya dengan nama The White City karena memang hampir seluruh bangunan di kota tersebut terbuat dari batu pualam putih seperti rata-rata bangunan Mediteranian, di pesisir pantai  laut Tengah. Ini adalah ciri khas mereka. Aku teringat pada video film yang sering diputar di toko-toko penjual pesawat televisi di mal-mal di Jakarta.  Rupanya disinilah lokasi pembuatan film tersebut. Atau paling tidak di negara-negara sekitarnya, mungkin Yunani, tebakku.

Hebrew University sendiri adalah sebuah gedung tinggi dengan arsitektur kental barat modern. Universitas ini adalah universitas milik pemerintah Israel. Setelah memberitahu kemana aku harus menuju, aku dan Benyaminpun berpisah. Benyamin menuju ke gerbang utara sementara aku ke gerbang utama. Bersama beberapa orang dari sejumlah  negara  yang juga mendapatkan hadiah lomba sebagaimana yang aku menangkan, kami  mengikuti kelas di salah satu  ruang universitas tersebut. Di kelas ini, mula-mula seorang pengajar menerangkan sejarah berdirinya  perguruan tinggi tertua milik Yahudi tersebut. Selanjutnya kami diajak berkeliling melihat-lihat gedung dan fasilitas yang dimilikinya. Aku perhatikan hampir disetiap lantai terpasang gambar raksasa maket “ Great Israel” di dinding.  Disamping itu  tergantung pula gambar rancangan “ Haekel” baru. Dalam hati  aku bertanya-tanya bagaimana komentar  Benyamin dan keluarganya  nanti ketika aku menanyakan hal tersebut.
Siangnya kulihat Benyamin sudah menanti di pelataran besar universitas. Setelah makan siang ia berjanji akan menemaniku masuk ke dalam tembok Yerusalem kuno. Kami masuk melalui pintu Singa atau  Lion Gate yang terletak di sebelah timur laut pelataran, tentu saja setelah melalui pos pemeriksaan polisi Israel. Padahal wilayah tersebut katanya di bawah kekuasaan pihak Palestina.  Heran aku dibuatnya. Sayang aku lupa menanyakan hal tersebut pada Karim ataupun Benyamin. Di tempat ini semua orang yang ingin  masuk tempat tersebut diharuskan mengeluarkan dan memperlihatkan seluruh isi tas, bawaan bahkan kantong baju dan celananya!
“ Gila… emang dikira  orang  mau shalat  bawa pistol apa? “, aku mendengar seseorang  berbicara dalam bahasa Indonesia di arah belakangku. Secara otomatis aku segera menengok ke arah suara tersebut datang. Ternyata memang  rombongan dari Indonesia. Tetapi bukan rombongan yang kemarin bersamaku di bandara Amman. Karim menerangkan bahwa hampir setiap hari ada rombongan Indonesia yang datang mengunjungi tempat ini. Uniknya rombongan tersebut biasanya datang berkelompok atas dasar agamanya. Ada rombongan pengunjung beragama Nasrani ada rombongan pengunjung beragama Islam.  Biasanya mereka memang bukan pelancong biasa melainkan para peziarah.
Obyek yang biasa diziarahi para pezirah kota kuno ini banyak sekali jumlahya. Uniknya, rata-rata peziarah Nasrani dan Yahudi hanya mengunjungi situs-situs agamanya sesuai kitab  perjanjian lama dan perjanjian baru sementara peziarah Muslim mengunjungi hampir seluruh situs yang merupakan situs ketiga agama. Bahkan gereja Church Of The Holy Sepulchre, gereja yang dipercaya sebagai tempat dimana Yesus  disalib sekaligus dimakamkanpun  dikunjungi umat Islam.
Karena meyakini seluruh nabi dan rasul yang diturunkan Allah adalah bagian dari Rukun Iman yang enam. Umat Islam wajib meyakininya dan tidak boleh membeda-bedakan mereka. Kami wajib menghormati mereka semua “, begitu penjelasan Karim atas pertanyaanku.
Beruntung aku didampingi Karim. Ia mengajakku mengunjungi hampir seluruh situs yang biasa dikunjungi baik umat Islam, Nasrani maupun Yahudi. Setelah berhasil melewati gerbang Singa, bertiga kami menelusuri sebuah jalan yang dinamakan via dolorosa atau jalan penderitaan. Disebut demikian karena jalan ini sejak abad 14 atau juga berarti sekitar 1400 tahun setelah kejadian sebenarnya,  ditetapkan sebagai rute prosesi perjalanan Yesus menuju ke penyalibannya di bukit Golgotha. Di lokasi penyaliban tersebut sekarang telah berdiri sebuah gereja yang diberi nama Church Of The Holy Sepulchre atau gereja Makam Kudus.
Karim menerangkan bahwa hampir setiap saat selalu ada saja peziarah yang menyusuri rute tersebut. ” Tak jarang  peziarah Nasrani  histeris bahkan  hingga pingsan. Hari-hari besar umat Nasrani adalah puncak membludaknya peziarah. Hal ini sering mengakibatkan keributan dan bentrok dengan penduduk setempat.”, jelas Karim.  Aku dapat membayangkan situasi tersebut. Jalanan ini adalah jalanan sempit nan terjal berliku-liku dimana di kiri kanannya adalah pemukiman miskin  penduduk yang mayoritas Muslim. Mereka telah berada di tempat tersebut sejak ribuan tahun lamanya. Namun dengan besar hati mereka tetap mengizinkan umat lain yang datang dari seluruh penjuru dunia dengan penampilan yang tidak sederhana untuk melaksanakan prosesi akbar ini didepan mata mereka. Muncul simpatiku terhadap mereka.
Yang cukup mengejutkanku, bahkan penjaga gereja Makam Kudus yang merupakan gereja tersuci sebagian besar umat Nasrani adalah seorang Muslim. Adalah Wajeeh Nuseibeh, seorang lelaki setengah umur. Sejak Yerusalem jatuh ke tangan umat Islam, Umar Bin Khattab, sang khalifah yang terkenal itu, telah mempercayakan kakek moyang Wajeeh  untuk menjaga dan memelihara tempat tersebut. Keluarga inilah yang secara turun temurun menyimpan kunci dan menjadi wasit gereja yang menjadi rebutan ketujuh sekte Nasrani yang ada di Yerusalem. Tiga kelompok terkuat itu adalah Katolik Roma, Yunani, dan Armenia. “ Mereka berkata bahwa aku adalah wasit yang adil karena aku tidak memihak pada satupun sekte diantara  mereka”, begitu aku Wajeeh bangga.
Wajeeh bercerita , dulu keluarga Nuseibeh mempunyai ladang-ladang zaitun yang luas. Namun sejak pecah perang 1967, dengan berhasilnya  Israel menjajah sebagian wilayah Yordania, keluarga tersebut terpaksa kehilangan seluruh harta kekayaan mereka termasuk ladang-ladang zaitunnya. Saat ini keluarga Wajeeh hanya mengandalkan hidup dari upah sebagai penjaga gereja yang tidak seberapa disamping uang tambahan sebagai pemandu wisata. Sebagian keluarga Nuseibeh kini menjadi profesor dan pengusaha, tapi takdir Wajeeh, yang diwariskan oleh ayahnya, adalah menjaga makam suci, makam dimana dikabarkan Yesus dikuburkan setelah penyalibannya.
Benyamin melirik jam tangannya mewahnya, Rolex dengan tali kulit cokelatnya. “ Maaf, Mada. Aku ada janji dengan seseorang. Aku terpaksa tidak dapat menemanimu lebih lama lagi “, katanya dengan nada menyesal. “ Tapi tak  usah khawatir, Karim akan mengantarmu kemanapun kau ingin “, lanjutnya .
Tak apa, Benyamin. Aku yang minta maaf terpaksa membuatmu  mengantarku kesana kemari”, jawabku. “ It’s okay  Mada. Aku senang bisa memuaskanmu berjalan-jalan dan mempelajari sejarah kota kelahirkanku ini. Kita berjumpa lagi di rumah nanti malam, okay ?”, katanya menutup pembicaraan.
Akupun meneruskan perjalanan berdua dengan Karim. Sekarang kami menuju The Dome of The Rock. “ Sungguh menyedihkan”, keluh Karim. “Sejak beberapa tahun belakangan ini, pihak otoritas Israel secara provokatif telah mengumumkan terang-terangan bahwa lokasi Syarif Al-Haram adalah milik mereka. Bahkan detik inipun secara bertahap mereka sedang menghancurkan dan melenyapkan keberadaan kedua masjid tersebut untuk diganti dengan rumah ibadah mereka. Untuk menghindari cemoohan dunia internasional mereka melakukannya secara diam-diam. Inilah salah satu  bukti sifat licik kaum Yahudi”, lanjutnya sambil melompat menghindari sebuah genangan air di depannya.
“ Semestinya mereka mempelajari sejarah secara utuh. Kawasan ini adalah masa lalu mereka. Kawasan Syarif Al-Haram dimana berdiri Kubah Batu atau Dome Of The Rock dan  Masjidil Aqsho yang ada saat ini,  telah menggantikan rumah ibadah mereka sejak ribuan tahun lamanya. Kami, umat Islam yang menjaga dan merawatnya. Keduanya adalah bangunan masjid yang sejak dahulu aktif dipergunakan untuk beribadah. Kami tidak merebutnya secara paksa. Bahkan uskup Nasrani, sang penguasa Yerusalem masa lalu yang memberikan kunci kota ini kepada kaum muslim yang telah mengepung kota, berpesan agar orang Yahudi tidak diizinkan tinggal di kawasan tersebut. Itupun dalam keadaan sama sekali tidak terawat. Tumpukan sampah menggunung dimana-mana. Namun setelah sekian lamanya, bagaimana mungkin tiba-tiba mereka menghancurkannya begitu saja seolah kita ini tidak pernah  ada… ”, katanya dengan suara parau menahan emosi.
Biarlah Allah yang membalas perbuatan biadab mereka. Allah adalah Tuhan bagi seluruh penduduk bumi, langit dan segala isinya. Ialah satu-satunya pemilik semua yang ada di alam semesta ini sejak nabi Adam hingga umat akhir zaman nanti”, katanya mantap.  “ Dialah yang mengutus para nabi dan rasul termasuk Nabi Ibrahim bapak agama samawi, Musa nabinya Yahudi, Isa nabinya Nasrani  dan Muhammad saw nabinya umat Islam”, lanjutnya. “ Kita ini, seluruh manusia  diperintah untuk menyembah hanya kepada-Nya. Jadi bila ternyata sekarang ini terjadi perselisihan tajam biarlah Ia yang memutuskan perkara ini. Cobalah… sekali waktu kau bandingkan isi ketiga kitab tersebut, Mada. Aku yakin hatimu masih bersih, bedakan dan rasakanlah”, katanya mengakhiri penjelasannya begitu terdengar suara azan Magrib di kejauhan.
Dengan setengah berlari aku terpaksa mengikuti langkah-langkah lebar Karim. Melewati serta beberapa kali meloncati beberapa anak tangga sekaligus, tahu-tahu kami sudah muncul di depan pelataran Syarif Al-Haram. Terlihat sejumlah orang berbondong-bondong menuju Masjidil Aqsho. Karim langsung menuju tempat mengambil air wudhu. Tanpa sadar akupun terus mengikuti gerakannya membasuh kedua tangan, berkumur, membasuh muka, kepala dan kedua kaki. Sementara suara azan terus berkumandang di kedua telingaku. Hatiku terasa teriris-iris. Aku merasa seolah ada yang memanggil dan mengikutiku.
Selanjutnya tanpa menengok padaku, Karim masuk kedalam masjid dan langsung mengerjakan shalat. Sejenak aku termangu, teringat ketika aku shalat bersama Lukman di masjid kampus beberapa waktu yang lalu. Rasanya sudah lama sekali  hal itu terjadi. Tiba-tiba entah mengapa aku merasa bersalah. Akupun segera masuk dan mengikuti gerakan shalat Karim.
Beberapa menit kemudian, aku sudah seperti menjadi bagian dari orang-orang yang secara serentak melaksanakan shalat bersama-sama. Aku rukuk, sujud dan duduk sebagaimana mereka. Aku memang sama sekali tidak memahami apa yang dikatakan imam di depan sana namun terus terang aku dapat merasakan ketentraman yang menyelinap jauh ke dalam hati sanubari ini.
***
Genap seminggu setelah kedatanganku, aku diajak keluarga Benyamin menghadiri sebuah acara istimewa di sebuah hotel mewah di Yerusalem Barat. “ Ayolah, ini acara istimewa. Kamu beruntung bisa hadir karena di acara ini hanya orang-orang  yang dianggap penting dan punya uang saja yang bisa hadir”, bujuk Benyamin padaku sambil menarikku ke kamarnya dan menunjukkan lemarinya yang terbuka lebar agar aku mau memilih salah satu dasinya yang jumlahnya puluhan itu. Akhirnya tanpa banyak berbicara  akupun mengambil salah satunya.
Aku, Benyamin dan kedua orang-tuanya tepat pukul 7 malam memasuki  lobi hotel  Plaza Continental, sebuah hotel bintang lima paling bergengsi di Yerusalem. Kami dipersilahkan masuk ruang  The Executif Club. Disana sudah terlihat beberapa pasang tamu dengan dandanan yang chic. Para lelakinya terlihat rapi berjas hitam lengkap dengan dasi kupu-kupunya sebaliknya para perempuan tampil dengan pakaian pesta yang terbuka disana-sini memperlihatkan dengan jelas lekak lekuk tubuh mereka.
Kedua orang-tua Benyamin segera bergabung dengan mereka. Setelah aku diperkenalkan, Benyamin segera menarikku ke sudut lain ruangan yang ditata serba wah tersebut. Rupanya yang ditujunya adalah sebuah meja kecil di sudut yang agak tersembunyi di belakang meja besar berisi  penuh makanan ringan pembuka. “ Nah, disini kita aman, Mad…..”, katanya sambil melonggarkan dasinya. Akupun  segera  mengikuti kelakuannya. Dari tempat ini kami bisa bebas dan leluasa melihat ke meja tamu lain tanpa khawatir terlihat oleh pihak lain. Tak lama kemudian setelah menerima segelas soft drink yang ditawarkan seorang pelayan kami berdua sudah duduk santai sambil memperhatikan tamu-tamu yang berdatangan.
Lihat yang duduk di deretan meja terdepan sebelah kiri itu…Ia adalah mentri kebudayaan dan pariwisata Israel. Dialah penyelenggara acara ini”, terang Benyamin. “ Nah, sekarang lihat siapa yang baru masuk itu “, serunya. “ Pasti kau mengenalnya”. Ternyata dia adalah seorang aktor laga kawakan kenamaan Holywood. Ia datang didampingi istrinya yang masih keluarga mantan presiden legendaris Amerika Serikat.
Selanjutnya setelah Benyamin sibuk menunjuk kesana kemari, tiba-tiba aku dikejutkan oleh seraut  wajah khas Indonesia. Dia adalah mantan presiden negara kita yang kontroversial, yang diam-diam dikenal memiliki hubungan khusus dengan negri berlambang Segitiga Davis ini. Ia datang didampingi istri lengkap dengan sejumlah pengawal khususnya seperti biasa.   Selanjutnya aku melihat seorang personil band yang banyak digandrungi remaja tanah air saat itu. Mengenai artis ini aku pernah mendengar kabar selentingan bahwa ia memiliki hubungan istimewa dengan sesuatu  yang erat kaitannya dengan ke-Yahudi-an namun aku lupa apa detilnya.
Tepat pukul 20.00  acara resmi dibuka oleh sang mentri Pariwisata. Dari sambutan itulah aku baru tahu rupanya agenda utama pertemuan ini adalah pemberian penghormatan dan piagam bagi tokoh-tokoh yang dianggap berhasil memberikan citra  positif terhadap Israel, negara yang oleh negara-negara di Timur  Tengah dan sebagian negri Islam tidak diakui kedaulatannya itu.
***
Beberapa hari kemudian bersama rombongan teman-teman dari berbagai negara, kami pergi mengunjungi Museum Israel yang terletak di bukit yang sama dengan Hebrew University. Di areal ini terdapat sebuah gedung ultra modern, yang dikenal dengan nama The Shrine Of The Book. Di dalam bangunan berkubah putih inilah tersimpan  The Dead Sea Scroll, Gulungan Laut Mati yang spektakuler itu.
Gulungan Laut Mati adalah sekumpulan gulungan kertas yang ditemukan pada tahun 1947 mulanya oleh seorang Badui Palestina. Seterusnya hingga tahun 1956 dari sejumlah gua di sekitar daerah Qumran, dimana naskah pertama ditemukan, terkumpul ratusan potongan naskah kuno. Diantara naskah-naskah tersebut yang terpenting adalah adanya sejumlah naskah yang dipercaya sebagai potongan bagian dari Perjanjian Perjanjian Baru / Injil dan  Perjanjian Lama / Taurat. Naskah ini diperkirakan ditulis pada sekitar tahun 2 SM hingga tahun 100 an setelah Masehi.
Namun sayang baru sebagian kecil dari isi naskah yang dipublikasikan ke umum. Padahal banyak rahasia besar yang dapat diungkap kumpulan naskah tersebut. Diantaranyalah adalah apa yang diungkap seorang teolog pakar Perjanjian Baru dan Gulungan Laut Mati, Prof. DR. Barbara Tiering, dari University  of Sidney Australia. Berdasarkan penelitiannya ia mengungkapkan bahwa Yesus sebenarnya tidak hidup membujang seperti perkiraan umatnya. Ia bahkan pernah menikah sebanyak 2 atau 3 kali. Malah dikatakan 4 tahun setelah penyalibannya, salah satu istrinya itu melahirkan seorang anak pertama mereka. Artinya Yesus tidak meninggal di tiang penyaliban sebagaimana perkiraan umatnya selama ini!
Dari The Shrine Of The Book, kami pergi mengunjungi The Model of Second Temple Jerusalem atau kuil kedua Yerusalem yang memang masing berada di area yang sama yaitu Museum Israel. Ini adalah sebuah replika raksasa dari kuil Yerusalem kuno pada masa hidup Yesus. Sebuah kuil  yang mulai dibangun pada tahun 20 sebelum Masehi oleh Herod The Great yang dihancurkan hanya 6 tahun setelah selesai dibangunnya yaitu pada 70 M oleh Titus, seorang pemuka Romawi. Replika yang dibuat  pada tahun 1966 ini mulanya disembunyikan di bawah tanah sebuah hotel di Yerusalem. Namun pada tahun 2002 secara resmi dan terang-terangan, replika tersebut dipindahkan ke dalam Museum Israel. Saat ini Replika Kuil Yerusalem ke dua tersebut menjadi salah satu daya tarik wisatawan manca-negara.
Dalam waktu yang tak lama lagi bangsa Israel tak  akan lagi hidup terlunta-lunta. Replika raksasa  yang berada dihadapan anda ini memperlihatkan  semangat bangsa kami untuk membangun kembali kejayaan yang telah hilang ribuan tahun lalu”,  jelas seorang pemandu yang menemani rombongan tamu dari berbagai negara ini dengan penuh kebanggaan.
Oh… jadi  apa  yang dikatakan Karim padaku tempo hari ternyata benar “, kataku dalam hati.
Orang-orang Yahudi, didorong oleh orang-orang Free Mason sejak 200 tahun belakangan memang terobsesi untuk pulang ke tanah yang mereka anggap sebagai rumah leluhur  mereka. Mereka bahkan tengah merencanakan  pembangunan kuil Yerusalem ketiga di atas pelataran dimana saat ini tengah berdiri masjid Kubah Batu dan Masjidil Aqsho yang sejak abad 7 telah menjadi bagian penting  kehidupan pemeluk umat Islam di seluruh dunia khususnya penduduk Palestina.
Sesuatu yang tak masuk akal. Orang-orangYahudi rupanya hidup di bawah bayang-bayang masa lalunya. Lalu mau diapakan dan dikemanakan orang-orang yang sejak ribuan tahun hingga  saat ini ada dan hidup di sekitar situs suci tersebut?”, kataku dalam hati heran.
Sekarang aku tahu mengapa banyak pemeluk  Islam yang mempunyai rasa antipati terhadap bangsa Yahudi dan sekutunya. “ Bagaimana mungkin sebuah pemerintah pendudukan bisa seenaknya  menggusur bahkan menghancurkan situs penting keagaamaan pemeluk penduduk setempat ? Ironisnya lagi, rencana tersebut didukung pula oleh sejumlah negara yang mengaku diri sebagai negara demokratis“, pikirku. Jelas, orang-orang ini sengaja mencari perkara dan penyakit.
Seorang kenalan baruku, seorang warga negara Selandia Baru, membisikiku bahwa saat inipun dengan alasan mencari peninggalan nenek moyang mereka, pihak otoritas resmi Yahudi telah membangun beberapa galian dan terowongan sepanjang tembok Barat atau yang dikenal dengan Tembok Ratapan. Terowongan ini dikabarkan bahkan telah mencapai bagian pusat  masjid Al-Aqsho hingga menyebabkan keadaan masjid menjadi rawan. Katanya hal ini memang disengaja. Jadi bila terjadi gempa sedikit saja, masjid tersebut  akan segera ambruk. Ini yang menjadi harapan mereka. Mereka sepenuhnya sadar  bahwa Yerusalem adalah  daerah rawan gempa.  Dengan demikian mereka tidak perlu merasa  dipersalahkan!
Didorong rasa keingin-tahuan yang tinggi, aku berniat sepulangku nanti  aku akan segera mendiskusikan masalah diatas dengan Benyamin dan Karim. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui tanggapan dan reaksi mereka berdua. Kupikir keduanya bisa mewakili pendapat dan pikiran umum rakyat Palestina sebagai pemilik resmi tanah yang menjadi rebutan itu,   dari sisi ajaran  Nasrani dan ajaran  Islam.
***

Seberkas Cahaya di Palestina (5/14) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Pengagum Wanita

2 komentar: