Sharing is Caring | Simple Share™ Berbagi Informasi yang Positif | SEO, Tips, Tutorial, Resensi, Review, Cerita Kehidupan Simple Share™

Senin, 31 Oktober 2011

Seberkas Cahaya di Palestina (7/14)

Beberapa hari sebelum kepulanganku ke tanah air, aku diajak Benyamin mengunjungi kota Hebron yang terletak di Tepi Barat, untuk melihat makam nabi Ibrahim. Sama halnya dengan kota-kota penting lain di Palestina, penjagaan dan pemeriksaan ketat juga diberlakukan untuk memasuki kota dimana makam nabi Ismail, nabi Ishak dan nabi Yakub  ini berada. Ternyata  hanya untuk melakukan ziarah ke makam yang terletak di dalam masjid inipun dilakukan pemeriksaan super ketat. Tidak hanya para perempuan bahkan bayipun harus digeledah!

Makam para nabi Allah ini terletak didalam naungan masjid yang diperkirakan dibangun 1000 tahun silam. Namun fondasi dasarnya kemungkinan telah ada jauh sebelum itu. Masjid ini berdiri di ketinggian 15 m dari permukaan tanah dan dikelilingi dinding raksasa dengan stuktur dasar menyerupai dinding kuno di Haram Al-Syarif.
Sejak lama makam ini menjadi rebutan antara pihak Palestina dan pihak otoritas Israel. Lihat   pagar besi yang melintang persis diatas makam tersebut. Itu adalah makam nabi Ibrahim. Pagar tersebut memisahkan makam menjadi 2 bagian,  1 bagian berada di wilayah Palestina dan  1 bagian lainnya milik Israel”, jelas  Karim.
Pihak Israel tidak akan pernah puas dengan apa yang telah dikuasainya sekarang ini. Sedikit demi ia terus memperluas daerah jajahannya dan merebutnya dari tangan Palestina. Hebron adalah milik bangsa Palestina namun lihatlah, pemerintah Israel saat ini terus membangun perumahan Yahudi di sela-sela perkampungan Palestina. Rakyat  Palestina tidak mampu melawan kediktatoran mereka. Yang lebih mengesalkan lagi, pemukiman Yahudi itu dibangun  di atas perbukitan diatas perkampungan kumuh Palestina.  Kemudian dengan sengaja dan secara provokatif para penghuni di atas bukit sering melempar barang-barang tak berguna mereka ke arah perkampungan di bawahnya! Benar-benar keterlaluan…”, kata Benyamin geram.
***
Suatu hari, usai mengikuti kunjungan  ke beberapa tempat penting dan terkenal seperti gedung Parlemen dan lain-lain bersama rombongan, Benyamin tidak terlihat di tempat biasa ia menantikanku selama ini. Ini adalah hari terakhirku di Yerusalem.” Benyamin ada kuliah  tambahan hari ini hingga sore hari. Tadi ia lupa mengatakan padamu”, jelas Karim.
Siang itu Karim mengajakku  berkunjung  ke masjid  Salman Al Farisy. ” Siang ini aku kedatangan rombongan tamu dari Perancis. Mereka baru pulang dari menunaikan umrah di Mekkah. Pemandu  yang mustinya bertugas mengantar mereka kebetulan sedang sakit. Ia memintaku agar menggantikannya mengantar tamu-tamu tersebut mengunjungi makam Salman Al-Farisy, seorang tokoh legendaris sekaligus  pejuang Islam kenamaan”, terang Karim. ” Bila kau mau, kau bisa ikut bergabung”, ajaknya.
Maka tak sampai satu jam kemudian akupun sudah berada diantara sekitar 20-an tamu Perancis dengan Karim sebagai pemandunya. Makam Salman Al-Farisy berada di dalam masjid yang  sama dengan namanya. Masjid yang tidak tampak istimewa ini berada diatas sebuah bukit di pinggir sebuah jalan yang menanjak diantara pemukiman penduduk.
Salman adalah seorang pemuda Persia berusia belasan tahun. Dulunya ia tinggal di sebuah desa bernama Jayy, Isfahan di  Persia. Keluarganya adalah penganut agama Majusi, penyembah api. Salman muda sejak remaja telah ditugasi ayahnya untuk menjaga nyala api sesembahan agar tidak sampai padam. Suatu hari karena bosan, tanpa sepengetahuan ayahnya, ia meninggalkan tugasnya dan berjalan-jalan. Di jalan ia melewati sebuah gereja dimana orang-orang didalamnya sedang beribadah. Salman merasa bahwa agama ini lebih baik dari agama nenek moyangnya. Ia kemudian memutuskan untuk berganti agama.”, jelas Karim dalam  Inggris  kepada tamu-tamu Perancisnya.
Namun begitu ayahnya mengetahui hal tersebut, ia marah besar dan mengurung Salman dalam kamarnya. Salman tidak putus asa. Beberapa hari kemudian dengan bantuan teman-teman baru Nasraninya, Salman berhasil melarikan diri. Selanjutnya selama beberapa tahun Salman taat mengikuti ajaran baru tersebut hingga ajal mendekati uskup gerejanya. Berkat kasih sayangnya, sang uskup berkata bahwa ia telah menitipkan Salman ke uskup lain yang dipercayanya. Ia  berpesan : ” Salman, berhati-hatilah dalam menuntut ilmu. Sekarang ini banyak pemimpin agama yang tidak menyampaikan  ajarannya dengan benar. Maka teruslah memohon kepada Allah agar jangan disesatkan.”, Salmanpun mentaatinya dan ia mengikuti uskup yang telah ditunjuk uskup yang shaleh tersebut”, Karim berhenti sejenak.
Dalam keadaan hening itulah  tiba-tiba aku mendengar bisik-bisik di sebelahku. Aku baru menyadari rupanya ada beberapa tamu yang kurang memahami apa yang dikatakan Karim. Perlahan aku segera mendekati beberapa  tamu yang berbisik-bisik tersebut dan  berkata pelan :  “ Voulez-vous  que je traduise l’explication , mesdames  messieurs ? «  tanyaku sopan menawarkan apakah mereka mau aku menterjemahkan apa yang dikatakan Karim. Ternyata dengan senang hati mereka menerima tawaranku itu. Karimpun  rupanya menyadari hal tersebut. Ia memberi isyarat bahwa ia menyetujuinya. Kemudian ia meneruskan penjelasannya dengan lebih lambat memberiku kesempatan untuk  menterjemahkannya.
Namun hal itu tidak berlangsung lama karena tak lama kemudian uskup kepercayaan itupun juga meninggal dunia. Maka Salmanpun mulai mengembara mencari uskup yang sesuai dengan apa yang telah diajarkan uskup lamanya. Beberapa kali Salman bertemu dengan uskup namun didapatinya uskup tersebut mengajarkan hal yang tidak sesuai dengan ajaran yang telah diterimanya. Hingga suatu hari ia tiba di sebuah kota di Arabia. Belakangan ia baru tahu bahwa kota tersebut bernama Yathrib yang dikemudian hari diganti menjadi Madinah. Di tempat ini ia dizalimi seseorang yang pada akhirnya mengakibatkan ia dijual dan dijadikan budak seorang Yahudi”, Karim berhenti sejenak memberi kesempatan tamu-tamunya mengambil gambar keranda anak muda tersebut.
Baru  beberapa hari tinggal di rumah orang Yahudi tersebut, Salman mendengar berita bahwa ada seorang nabi baru muncul. Ia dikejar-kejar dan dimusuhi kaum dan kerabatnya sendiri. Namun justru di kota Yathrib ini ia diterima. Salman merasa penasaran dengan berita tersebut. Ia teringat kata-kata uskupnya bahwa kitabnya telah memberitahukan kedatangan nabi baru tersebut. Ia juga teringat akan pesan dan ciri-ciri utusan Allah yang tertulis dalam kitabnya”, lanjut Karim.
Selanjutnya  Salmanpun berusaha menemui nabi baru tersebut. Ia ingin mencocokkannya dengan ciri-ciri yang diketahuinya. Dan setelah akhirnya ia benar-benar yakin bahwa memang dialah nabi yang dimaksud dalam kitab yang diajarkan uskup gerejanya waktu itu, tanpa sedikitpun keraguan Salmanpun segera mengikrarkan diri menjadi pengikut dan pemeluk nabi baru tersebut. Itulah Islam”, kata Karim menutup penjelasannya.
Mr. Karim, apakah Salman yang anda ceritakan ini sama dengan Salman, sahabat Rasulullah Muhammad saw  yang memberikan usulan dibangunnya parit dalam perang Ahzab?”, tanya  seorang jamaah di depanku  dengan bahasa Inggris beraksen Perancis yang terbata-bata.
Anda benar sekali. Salman inilah yang memberikan usulan tersebut. Ketika itu banyak sahabat yang tidak begitu mempercayainya bahkan beberapa mempertanyakan mengapa Rasulullah mau mempercayai dan mau menerima usulan  yang datang dari seorang non Arab”, jawab Karim
Padahal itulah salah satu kehebatan Islam. Islam tidak pernah membeda-bedakan bangsa, warna kulit maupun ras seseorang. Islam adalah rahmatan lilalamin”, sahut seorang peranakan Arab-bule disampingku.
Betul. Rasulullah dalam hadisnya pernah bersabda ambillah segala yang baik walaupun datangnya dari orang Yahudi sekalipun, sebaliknya buanglah sesuatu yang buruk sekalipun datangnya dari sesama Muslim,” sambung Karim lagi.
Aku hanya termangu-mangu mendengar semua percakapan tersebut. Aku merasa semakin takjub terhadap ajaran agama ini. Sebaliknya jauh di dalam hatiku, aku merasa  dikucilkan dan ditinggalkan. Bagaimana mungkin aku yang sejak kecil bahkan lahir di negri yang mayoritas Muslim bisa tidak mengenal agama ini. Sebaliknya bule-bule Perancis yang hidup di lingkungan  non Muslim bisa lebih dahulu mengetahui ajaran Islam. Aku pikir orang-orang yang terlebih dahulu beruntung mengetahui sebuah kebenaran seharusnya bertanggung-jawab memberitahukan apa yang telah didapatnya itu kepada yang belum menemukannya. Namun demikian kisah Salman Al-Farisy yang baru saja diceritakan Karim membuatku malu. ” Salahku sendiri.. mengapa aku tidak mencari tahu ”, kataku dalam hati.
Tak berapa lama kemudian, rombongan melanjutkan perjalanan menelusuri situs peninggalan lain. Pukul 18.25 ketika terdengar azan Magrib, rombongan segera meninggalkan masjid Umar yang terletak di lorong diantara pemukiman yang padat penduduk itu. Aku perhatikan ada sebagian yang mengambil wudhu di masjid tersebut. Kemudian setengah berlari mereka pergi menuju Masjidil Aqsho yang terletak agak jauh dari masjid Umar ini.
Shalat di dalam Masjid Al-Aqsho lebih besar keutamaannya. Ganjarannya adalah 50 kali lipat shalat di masjid biasa ”, begitu Karim memberi alasan ketika aku bertanya mengapa mereka tidak shalat di masjid terdekat saja.
Pahala bagi orang yang melaksanakan shalat didalam masjid dalam rangka mencari ridho-Nya padahal ia sedang sibuk melaksanakan jual beli atau sedang sibuk dengan urusan dunianya adalah rezeki yang tak terbatas ”, tambah Karim lagi menjawab pertanyaanku mengapa seorang Muslim harus shalat di masjid tidak di rumah saja..
Selesai mengerjakan shalat, rombongan berpisah. Karim mengajakku untuk mampir ke rumah orang-tuanya yang  katanya tidak terlalu jauh dari situ. Kamipun kembali menelusuri lorong gelap kota tua Yerusalem. Dibawah cahaya lampu yang sangat minim, aku dapat menyaksikan betapa keadaan di kompleks pemukiman Muslim ini sungguh jauh berbeda dengan  keadaan rumah Benyamin di Yerusalem Barat.
Semenjak pendudukan Zionis Israel 60 tahun lalu, keadaan kaum Muslimin makin terpuruk. Jangankan untuk keluar mencari kerja bahkan untuk sekedar keluar masuk kota saja sulit.  Pemerintahan Israel sengaja  membangun tembok pembatas sekeliling  kota untuk memisahkan dan menjauhkan warga Palestina  dari kehidupan. Profesi sebagai guide adalah profesi  yang paling mudah untuk melewati tembok pembatas. Itupun harus diperpanjang tiap3 bulan untuk mendapat izin ”, terang Karim.
” Mereka ingin membunuh kami secara perlahan. Ini terbukti dengan tidak adanya  perhatian pemerintah atas pelayanan kesehatan, kesejahteraan dan pemukiman kami yang makin lama makin sesak dan  kumuh. Bayangkan, dalam sebuah keluarga dengan 6 orang anak, kami harus berdesakan tinggal dalam 1 rumah sempit  dengan 1 kamar tidur”, tambahnya.
” Kami benar-benar terkurung di dalam kota lama tanpa pendapatan sepeserpun. Tidak ada transaksi jual beli kecuali antar warga sendiri. Bahkan pasokan listrik dan airpun mereka batasi dan awasi dengan amat ketat. Bayangkan bila musin dingin tiba….  Ini terjadi di semua pelosok Palestina”, katanya berang .
Aku hanya diam membisu. Aku saksikan sendiri di sepanjang lorong temaram ini memang banyak berjejer toko kelontong yang menjajakan barang-barang sederhana kebutuhan sehari-hari. Barang-barang tersebut tidak istimewa dan tidak menarik. Padahal banyak tamu dari mancanegara yang mengunjungi tempat tersebut. Mustinya ini bisa menjadi pendapatan mereka. Namun mereka  tidak memiliki modal dan memang sengaja tidak dimodali untuk mengembangkan usaha mereka. Disamping itu kelihatannya turis memang tidak dianjurkan membelanjakan uangnya di tempat mereka. Ini adalah sebuah pembunuhan terselubung kalau tidak mau dikatakan sebuah genocide terhadap ras Arab Palestina, kataku dalam hati, miris.
Kami terus menaiki dan menuruni jalan setapak  lorong-lorong panjang temaram yang  berkelak-kelok  tersebut hingga akhirnya kami tiba di tempat yang dituju. Berdiri di sebuah pintu yang sedikit terbuka, sejenak aku  tertegun. Yang dimaksud oleh Karim sebagai rumah kedua-orang tuanya ternyata hanyalah sebuah ruang gelap yang diberi penyekat untuk membedakan antara ruang tidur, ruang tamu serta dapur.
Assalamu’alaikum, yaa ummi yaa abi”, sapa Karim sambil mengetuk pintu dan perlahan mendorong daun pintu yang nyaris lepas dari engselnya tersebut.
Waalaikum salam”, terdengar jawaban dari dalam. Bersamaan dengan itu muncul seorang perempuan bertubuh gemuk dengan kepala dibalut penutup kepala berwarna kusam. Walau wajah itu terlihat lelah dan renta namun dapat kurasakan matanya yang  memantulkan sinar keteduhan .
Perkenalkan ini ibuku dan ini tamu Indonesiaku yang tempo hari kuceritakan padamu, umi. Namanya Mada”, kata Karim memperkenalkan diriku.
Tak lama kemudian Karimpun terlibat percakapan akrab dengan ibunya. Aku tak memahami apa yang mereka bicarakan karena mereka berbahasa Arab. Sebelumnya Karim telah meminta maaf karena ibunya tidak bisa berbahasa selain bahasanya sendiri. Sementara itu aku hanya bisa terbengong-bengong menyaksikan betapa memprihatinkannya kehidupan mereka. Sungguh mati aku tidak pernah mengira ada kehidupan seperti ini di abad 20. Tidak ada listrik, tidak ada perabotan. Yang terlihat hanya lampu minyak yang menempel di dinding. Di ujung sebelah kananku  aku lihat sebuah sudut yang lebih bersih. Ditempat itu aku lihat sebuah sajadah sederhana terbentang.
Beberapa menit kemudian, setelah Karim mencium  tangan kanan ibunya, kamipun berpamitan. Kami berdua kembali menelusuri lorong-lorong gelap di balik tembok tua untuk keluar menuju rumah Benyamin yang sekarang dalam bayanganku terasa seperti surga saking besar dan mewahnya. Sayup-sayup dari  kejauhan kudengar suara ayat-ayat Al-Quran berkumandang. Alunan suaranya terdengar begitu menyentuh di hati. Aku  merasa seakan ada sesuatu yang menyapa dan memanggilku. Sementara itu dari arah gereja Makam Kudus yang berada sekitar 300 an meter dariku terdengar suara lonceng berbunyi 8 kali.
Tak lama kemudian terdengar pula suara azan bersahut-sahutan. ” Waktu shalat Isya”, gumam Karim. ” Kalau kau tak keberatan kau bisa menunggu di kedai kopi Yahudi di seberang kiri sana. Aku segera akan menjemputmu begitu aku menyelesaikan shalat”, kata Karim.” Sebenarnya di samping masjid di sebelah sanapun ada juga sebuah kedai kopi. Tapi kedai itu milik orang Muslim. Jadi selama pemiliknya shalat pasti akan tutup”, lanjut Karim melihat aku agak ragu menerima usulannya. Karena tidak ada pilihan akhirnya aku memutuskan menunggu  di kedai Yahudi yang diusulkannya tersebut. Ada perasaan menyesal mengapa aku tidak ikut Karim saja  shalat di dalam masjid….
***

Seberkas Cahaya di Palestina (7/14) Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Pengagum Wanita

1 komentar: